Oh, Dave!
Bau rumah sakit menusuk hidungku, begitu kulangkahkan kakiku menapaki lantai berubin putih. Berdiri di depan sebuah kamar dengan perasaan cemas. Menghimpun kekuatan sebelum akhirnya memutar handel pintu dengan bibir tersenyum.
Seorang gadis terbaring di ranjang dengan bibir pucat dan memakai kain penutup kepala bergambar Donal Bebek, kesukaannya. Langkahku terhenti tiba-tiba. Menatap wajah di depanku dengan hati giris. Kulirik gadis di sebelahku, yang sejak tadi hanya diam membisu.
"Diakah Runa?"
Aku mengangguk lemah. Memejamkan mataku, menahan butiran air hangat yang siap keluar dari kedua mataku. Perlahan mata itu terbuka, seperti sadar ada yang memperhatikan, dan menatapku seketika dengan tatapan tak percaya.
"Sisil?" Gadis itu mengusap kedua matanya.
Aku mengangguk.
"Benarkah itu kau?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Aku tersenyum menyambut uluran tangannya. Memeluk gadis itu, penuh kasih. Pertahananku bobol. Butiran bening yang kutahan sejak tadi keluar juga, mengucur deras membasahi kedua pipiku. Aku cepat menghapusnya, sebelum gadis itu mengetahuinya.
"Aku bermimpi kau akan datang. Ternyata kau sekarang sudah berdiri di depanku."
"Maafkan aku."
"Kenapa harus minta ma... ah, Dave, sini. Lihat siapa yang datang," ujar Runa senang, begitu Dave berdiri mematung di depan pintu.
"Sudah kubilang kan, jangan terlalu banyak bergerak. Nanti punggungmu sakit lagi," tegur cowok itu marah, sambil berjalan menghampiri Runa.
Aku meraba hatiku, tanpa sanggup menatap wajah tampan di depanku. Menelan ludah yang terasa pahit, dengan susah payah.
Ya, Tuhan... ada apa dengan hatiku? Padahal dulu sudah kuputuskan untuk melepaskan segalanya, dan membiarkan Runa bahagia. Tapi... melihat tatapan lembut yang dulu selalu untukku dan mampu membuatku tenang, kini hanya tertuju pada Runa, tanpa menoleh sedikit pun padaku, membuatku tak bisa menahan perasaanku.
"Sil?" Gisela menggenggam erat tanganku. Seperti meyakinkanku, kalau dia bisa kuandalkan. Aku tersenyum kelu. Aku masih punya kau, Gis. Benar begitu, kan? "Run, ini Gisela. Dia memaksa ikut. Katanya ingin melihatmu," kataku mengenalkan. "Dan ini...."
"Ah, pasti Dave, kan?" Gisela memotong kalimatku. "Apa kabar? Sisil sering bercerita tentang kalian."
"Terima kasih sudah menjaga Sisil," ujarku Runa pelan, tersenyum.
Gisela tersenyum sambil melirikku menggoda.
"Kalau tidak dijaga, dia ini bisa bahaya lho, Run. Keingintahuannya besar sekali," ujar gadis itu sambil tertawa.
Aku memukul punggung Gisela main-main. "Jangan bercanda, ah. Kau kan sama saja denganku."
Gisela tertawa.
"Sil...."
Aku terperangah. Mata itu sekarang ini lebih sering terlihat berbinar-binar. Bahagia sekali, gumamku dalam hati. Apakah itu karena kau, Dave? Aku tersenyum pedih.
Andai saja dulu bisa kutepis semuanya. Mengabaikan begitu saja permintaan orang yang sudah begitu baik merawatku. Orang yang sejak kecil kupanggil dengan sebutan Mama, yang kemudian kutahu adalah kakak kandung ibuku, mungkin sekarang ini... kita masih bersama, Dave. Tapi, hati kecilku selalu melarangku melakukannya. Ah, Dave, andai saja kau tahu... melepaskanmu saat itu, melepaskan cinta kita, adalah hal tersulit yang harus kulakukan.
Melihat matamu saat itu... ingin sekali rasanya mengatakan padamu kalau aku masih selalu mencintaimu. Kemarahanmu, ketidakterimaanmu dengan alasan yang kukatakan, membuat hatiku ingin menangis. Andai saja saat ini segalanya bisa kuubah, tak akan pernah kubiarkan semua lepas dari hidupku, Dave. Apakah kau mengerti itu? Aku menggeleng sedih. Tapi kini, walaupun kau mengerti, semuanya itu sudah terlambat!
"Sisil?"
"Eh, apa? Kau ingin sesuatu, Run?" tanyaku, sambil berusaha menutupi keterkejutanku.
"Tidak kok," gelengnya lemah. "Sudah bertemu Mama, kan? Apa kau sudah pulang?" Aku mengangguk. Gadis itu tersenyum menatapku. "Mama pasti senang sekali kau kembali. Seperti aku."
"Aku tahu, Run."
Runa menghela napas panjang.
"Bagaimana? Apa semuanya di sana sangat indah?" Runa bertanya dengan mata berbinar. "Aku ingin sekali bisa pergi melihat sendiri, tapi tidak apa-apa. Kau bawa foto-fotonya kan, Sil?" tanya gadis itu dengan suara terbata-bata.
"Kutinggal di rumah, Run. Tadi aku cepat-cepat datang ke sini. Jadi terlupa dibawa."
"Apa besok bisa kulihat?" Matanya menatapku penuh harap. Aku mengangguk pelan. "Untunglah," desahnya lega. "Aku takut tidak sempat melihatnya."
"Run!" seruku tak suka. "Aku tak mau lagi mendengar, kau berbicara seperti itu!" cetusku marah.
Runa tersenyum getir.
"Ini stadium akhir, Sil."
"Apa hubungannya?!" seruku.
"Sudahlah, Sil." Gisela menengahi. "Jangan teriak-teriak di sini. Suster lewat, kau diusir lho? Dianggap mengganggu orang sakit," kata Gisela sambil tersenyum menggodaku.
Runa tersenyum menatapku.
"Aku tak akan bicara seperti itu lagi. Ah, aku lupa. Bagaimana Mama tadi? Baik-baik saja, kan?"
Aku mengangguk.
"Aku tidak ingin menyusahkan Mama terus. Kemarin Mama sudah menungguiku seharian. Padahal ada Dave di sampingku, itu sudah cukup." Runa tersenyum, menatap sosok cowok di samping kanannya. "Kini ada kau, Sil. Itu sudah membuatku bahagia sekali."
Aku memejamkan mataku. Perih!
"Ada apa? Kau kenapa, Sil?" Runa menatapku cemas. "Dave, tolong panggil Dokter Bram," pintanya.
Aku buru-buru menggeleng dan tersenyum menghentikan kecemasannya. Jangan sampai dia tahu kau terluka, Sil. Aku menepuk pipi gadis itu lembut.
"Aku tak apa-apa, Run. Jangan cemas seperti itu. Cuma letih, kok," dustaku.
"Benar?"
Aku mengangguk.
"Yang harus dicemaskan itu kau, Run. Bukan aku!"
"Tapi... ah, Sil, periksalah. Wajahmu pucat sekali."
"Aku tak apa-apa. Aku keluar dulu, ya?" Kucium kening Runa. "Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Aku ingin cari minum dulu," kataku menjelaskan, ketika sekilas kutangkap mata Dave memandangku tak percaya. "Nanti temui aku di kantin ya, Gis. Tempat kita minum tadi," kataku lagi, sambil melihat ke arah Gisela.
"Nanti kususu," balas Gisela.
"Oh ya," ujarku pelan, menatap sosok cowok itu, "tolong jaga Runa ya, Dave," pintaku lirih, dan menghambur keluar dengan cepat.
"Sil...." Runa memanggilku dengan lemah. Ada apa denganmu, Sil? Gadis itu berpaling, memandang Dave. "Tolong kejar dia, Dave."
Gisela bangkit dari duduknya.
"Biar aku saja," cetusnya, menahan tubuh Dave, yang baru saja berdiri. "Aku tak terbiasa menjaga orang sakit," katanya lagi sambil tersenyum.
Senin, 20 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar