Senin, 20 April 2009

Maafkan Mama, Sisil!



"Jangan membuatnya cemas seperti tadi, Sil."
Gelas yang kupegang berhenti di sudut bibirku. Aku mendongak, menatap sosok di depanku, dan tersenyum tipis begitu tahu siapa yang datang.
"Sil?"
"Kumohon jangan mengatakan apa pun lagi, Gis. Aku sudah lelah."
Gadis itu terdiam. Tangannya mendorong kursi di depanku. Duduk diam di sana sambil memandangku. Aku tersenyum jengah.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Kau masih mencintainya, kan? Jujurlah, Sil. Jangan menyangkal terus."
"Aku tak tahu, Gis. Melihat mereka berdua, hatiku sakit sekali." Aku tersenyum pedih. "Sebelum pulang, sudah kuputuskan segalanya. Bahkan tak memberikan dia penjelasan apa pun. Hanya memintanya menjaga Runa."
"Kau menyesal?"
"Masih bergunakah bila kukatakan?"
"Sil?"
"Dia masih menatapku seperti saat kutinggalkan. Jangankan menyapaku, menatapku saja, dia tak ingin lagi."
"Dia pasti tidak seperti itu, Sil."
Benarkah? Bahkan keingintahuanku apakah dia membenciku saja, aku tak berani menanyakannya.
"Andai dulu kau terima Kakak."
Aku tersenyum kecut.
"Apa yang bisa kuberikan pada Gunther, Gis? Cinta saja, aku tak tahu, apakah masih ada yang tersisa. Semuanya sudah lama hilang dari hidupku, tepat pada saat kuputuskan segalanya dengan Dave."
"Setidaknya kau bisa menemukan cinta yang tulus lagi, kan? Bisa memupus cintamu padanya."
"Sudah pernah kulakukan. Tapi hasilnya," aku menggeleng. "Tak bisa, Gis. Aku takut malah menyakiti hati Gunther. Aku tak ingin ada hati yang terluka lagi."
"Tak bisakah kau mencintai Kakak, Sil? Belajar membuka hatimu untuk orang lain?"
Aku tersenyum getir.
Andai saja bisa, apa pun juga kulakukan. Tapi cinta yang pernah kuberikan padanya, aku tak tahu, apa aku bisa memupusnya. Kenangan dari mereka berdua begitu kuat memasuki memoriku. Tak bisa dengan mudah kulepaskan, tanpa mengingatnya lagi.
"Sil?"
"Sudahlah," kataku pelan, sambil mengibaskan tanganku di udara. "Aku tak apa-apa." Aku tersenyum. "Impianku sekarang hanya ingin melihatnya sembuh, walaupun aku tahu kemungkinannya sangat kecil. Kalau itu saja terkabul, aku tak ingin minta apa-apa lagi."
"Tidak juga Dave?"
Aku tersenyum menatap gadis di depanku itu. Dan kemudian mengangguk lemah. Ya, Gis. Bahkan juga Dave! Aku beranjak dari dudukku, membiarkan Gisela mengikuti dari belakang. Aku menghela napas. Sudah terlambat, Gis. Aku menelan ludah pahit. Walaupun bisa kuubah, segalanya tak mungkin kembali sempurna!

***

"Mama senang sekali kau kembali."
"Aku tahu, Ma."
"Apa yang kau cari?" tanya Mama, begitu melihatku membongkar semua isi tasku.
"Foto," jawabku tanpa berpaling. "Rasanya kemarin sudah kutaruh di sini," kataku sambil mengeluarkan semua isinya.
"Ada di kamar Mama, Sil."
"Eh?" Aku menoleh dengan rupa terkejut.
"Kemarin tak sengaja Mama melihatnya, waktu ingin membereskan pakaianmu. Tak apa-apa, kan?"
Aku hanya menjawab dengan senyum. Membereskan semua yang sudah kubongkar, dan memasukkannya satu per satu ke dalam lemari.
"Setahun belakangan ini, Mama tak pernah melihatmu tertawa lepas seperti dulu. Bahkan senyum pun, sepertinya kau paksakan di depan Mama. Ada apa, Sayang?"
Aku menggeleng.
"Tidak ada apa-apa, Ma. Mungkin hanya lelah."
"Sepertinya tidak!" Mama memandangku cemas. "Di foto-foto itu, Mama melihatmu ceria sekali. Tertawa lepas tanpa ada luka, seperti saat kau mengatakan pertama kali pada Mama, bahwa kau mencintai Dave." Mama tersenyum mengenang. "Juga matamu yang berbinar bahagia, saat kau mengatakan kalian sudah pacaran."
"Ma, sudahlah."
"Apa ini karena Mama? Apa karena permintaan Mama?"
Aku terdiam.
"Mama kira, Mama tak akan pernah lagi menemukan luka di matamu setelah kau kembali. Tapi nyatanya," Mama menggeleng sedih. "Mama mungkin terlalu banyak berharap. Maafkan Mama ya, Sayang?"
Aku tersenyum tipis.
"Jangan merasa bersalah, Ma. Wajar kok, sebagai seorang ibu, Mama melakukannya. Jadi tak perlu mencemaskan Sisil."
"Sil, Mama tak bermaksud membeda-bedakan kalian. Mama hanya...."
"Ma, Sisil tak pernah menyalahkan Mama."
"Sil?"
"Mama melihat Gisela?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Sil?"
"Ah, itu dia," seruku senang, saat melihat gadis itu di luar, lewat kaca jendela. "Sisil pergi dulu ya, Ma?"
"Sil...," panggil Mama lagi, begitu aku sudah hampir mencapai ambang pintu. Aku membalikkan tubuhku perlahan, menatap wanita setengah baya, yang masih tampak cantik itu, dengan bibir tersenyum.
"Ada apa, Ma?"
"Apa hari ini tidak pergi ke rumah sakit?"
Aku tertegun. Benar! Kau punya janji dengan Runa, Sil! batinku. Tapi bagaimana jika Dave ada di sana? Dengan wajah yang bagaimana aku menemuinya?
"Sil?"
"Eh... ah, aku sampai lupa!" Kupukul keningku pelan. "Bagaimana kalau Mama saja? Sekalian foto-foto yang di kamar Mama, ya? Kemarin Runa ingin sekali melihatnya."
"Kau ingin pergi?"
"Aku... bagaimana, ya? Kemarin Sisil sudah janji mau nganter Gisela, Ma. Boleh, kan?"
Mama tersenyum. "Pergilah."
"Nanti kalau sempat, Sisil akan mampir, Ma." Aku mencium kedua pipi Mama, dan kemudian menghampiri Gisela.

Tidak ada komentar: