Aku Ikhlas, Gisela!
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Heh?"
"Tante menemuimu, kan?"
"He-eh."
"Apa lagi yang Tante inginkan?!"
"Tak ada. Mama hanya bingung dengan perubahan sikapku. Tak terbiasa katanya, melihatku diam sendirian."
"Kau jawab apa?"
Aku menggeleng.
"Tak ada!"
"Dan membuat Tante mengira kau bahagia?" Gisela tersenyum sinis. "Kau ini orang aneh, Sil. Mana ada orang yang rela melepaskan cintanya dengan mengorbankan kebahagiaannya."
"Ada, kok. Orang seperti itu ada di mana-mana, Gis. Tidak hanya aku."
"Sil?"
"Pengorbanan apa pun, tak akan pernah sia-sia, jika kita melakukannya untuk orang yang kita cintai."
"Walaupun harus kehilangan kebahagiaan sendiri?!"
Aku tersenyum tipis.
Hal itu, berulang-ulang kutanyakan dalam hatiku. Tapi jawabannya selalu saja sama. Tak peduli bagaimanapun caranya, kita sendiri yang harus bangkit memperjuangkannya.
Kasih sayang Mama, pengorbanannya, dan cinta yang pernah dan masih selalu kurasakan, mampukah kubalas dengan hal yang kecil itu? Kehilangan Dave, adalah hal yang sangat menyakitkanku. Tapi, akan lebih sakit lagi, jika kanker di tubuh Runa tak dapat dihilangkan. Jika aku harus kehilangan Runa, masih bergunakah semuanya?
***
"Ma?"
"Ah, sudah pulang?"
Aku mengangguk pelan. Mataku mengedari sekelilingku dengan rupa heran.
"Ma, kenapa tidur di sini?" tanyaku, begitu melihat perlengkapan tidur Mama di sofa.
"Mama menunggumu pulang. Tadi niat Mama sih, mencarimu. Tapi tak tahu kau pergi ke mana."
"Ma?"
"Sekarang Mama bisa tenang tidur. Tadi susah sekali, Sil. Mama takut terjadi apa-apa padamu. Gisela mana?"
"Sudah ke atas tadi. Ingin mengucapkan salam, tapi takut mengganggu tidur Mama."
"Ya, sudah. Mama tidur dulu ya, Sil."
"Ma," kejarku cepat, saat Mama sudah hampir menutup pintu. Kucium kedua pipi Mama dan tersenyum. "Makasih sudah mencemaskan Sisil. Selamat malam, Ma."
"Selamat malam, Sayang."
Aku berjalan gontai ke arah sofa, ketika pintu kamar Mama benar-benar tertutup. Menyenderkan tubuhku yang terasa penat, ke atas sofa.
Aku menghela napas panjang. Memejamkan mata perlahan. Membiarkan butiran bening bergulir jatuh membasahi kedua pipi.
Mama, bagaimana caranya aku harus bertahan? keluhku getir. Harus teruskah aku mengalah? Tak bisakah kuraih kebahagiaanku?
"Sil...."
Seseorang menepuk pundakku lembut. Aku terhenyak, begitu melihat Gisela duduk di sampingku dengan wajah cemas.
"Nih," Gisela menyodorkan bebarapa lembar tisu kepadaku. Aku tersenyum tipis.
"Makasih, Gis."
"Pantes, rasanya aku tak bisa tidur. Kau menangis lagi rupanya."
"Jangan cemas, Gis. Tidurlah!"
"Membiarkanmu sendirian melawan kesedihanmu?" Gisela menggeleng pelan. "Aku benci sekali melihatmu seperti ini, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kumohon, Sil. Jangan terus menyiksa dirimu."
"Aku tak apa-apa."
"Benarkah?" Gisela menatapku. "Kau berbohong, Sil."
"Gis, tak bisakah kau tinggalkan aku sendirian?"
"Aku bukannya ingin cerewet, Sil. Kalau kau terus seperti ini, tanpa sanggup mengatakan pada Tante perasaanmu, bukan hanya gadis itu yang sakit. Tapi kau juga!"
"Aku tak ingin menyakiti Mama."
"Menyakiti? Kau pikir apa yang dilakukan Tante padamu?!" teriak gadis itu marah. "Itu tak adil, Sil! Kau tak perlu mengorbankan semuanya."
"Jangan teriak-teriak, Gis. Mama bisa mendengarnya."
"Aku tak peduli!"
"Gis?"
"Biarkan saja dia mendengar!"
"Kumohon, Gis. Jangan membuat Mama sedih."
"Tak bisakah kau mengatakan padanya, kalau permintaannya yang tak wajar itu, menyakitimu terlalu dalam?!" ujar gadis itu. "Kau sudah cukup membayar semuanya, Sil."
Aku menggeleng lemah. Menatap gadis itu pilu.
Tak pernah ada kata cukup, untuk membayar semua yang telah dilakukan seorang ibu pada anak-anaknya, Gis. Hanya kewajiban membahagiakannya terus, yang dapat kulakukan pada Mama, dengan tidak membiarkannya menderita. Salahkah?
Sementara itu, di balik pintu kamar yang tertutup rapat, seseorang mendengarkan semuanya dengan hati sedih.
Senin, 20 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar