Aku Masih Mencintaimu, Sisil!
"Pagi, Tante."
"Oh, Gisela." Mama tersenyum. "Mau makan?"
"Nanti saja, Tante. Gis cuma mau minum."
"Tante bikinin, ya?"
Gisela menggeleng sambil tersenyum.
"Tidak usah, Tante. Cuma bikin susu saja, semua orang juga bisa, kok."
"Oh, sudahlah kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong, Tante boleh tanya sesuatu, kan?"
Gisela berpaling pelan, menatap ibu temannya itu dengan kening berkerut. Tanpa menghentikan kegiatannya mengaduk susu, gadis itu mengangguk.
"Ada apa, Tante?"
"Tidak, kok. Tante hanya ingin tahu tentang Sisil."
"Oh, kalau tentang Sisil sih... Gis tidak tahu apa-apa, Tante," dusta gadis itu."
"Benar?"
"He-eh." Gisela mengangguk cepat-cepat. "Memangnya kenapa, Tante? Ada masalah?"
Mama menggeleng lemah.
"Tante mendengar kalian ribut kemarin."
"Heh?" Gisela terhenyak. Umpan yang bagus sekali, batin gadis itu. "Oh, tentang itu. Biasa Tante, namanya juga anak muda. Mom juga suka bingung dengan kelakuan kami."
"Begitu?"
"Ya."
"Sudahlah! Lupakan saja. Tante hanya ingin tahu." Mama terseyum. "Sisil mana, ya? Sejak tadi belum kelihatan. Apa masih tidur?" tanya Mama, seperti pada diri sendiri.
"Sudah bangun sejak pagi tadi. Bilangnya sih, ingin ke toko. Mau beli kain penutup kepala, buat Runa katanya. Tidak pamit pada Tante?"
Mama mengerutkan dahinya. "Ah, mungkin Tante yang lupa."
Gisela tersenyum. "Gis mandi dulu ya, Tante. Sisil kemarin bilang mau ngajak ke rumah sakit."
Mama mengangguk, membiarkan Gisela mengakhiri pembicaraan. Cuma satu yang terlintas di benaknya untuk saat ini. Harus dia sendiri yang menanyakannya pada anak gadisnya! batin Mama
***
Dave memarkir mobilnya, beberapa meter di depan sebuah toko, begitu dilihatnya seorang gadis berjalan pelan memasukinya. Dia menurunkan kaca jendelanya sedikit, agar bayangan gadis itu masih bisa dilihatnya, walau dari jarak yang lumayan jauh. Apalagi ditambah dengan lalu-lalang orang-orang dan berbagai jenis kendaraan, yang melewatinya.
Dave menghela napas berat.
Di mana-mana, sekarang ini dia tak bisa lagi berbicara dengan gadis itu. Walau sekuat apa pun keinginan untuk bertemu, dia kini hanya bisa mengerti, bahwa semua itu tak mungkin terjadi. Gadis itu sudah memilih. Dan dia juga tahu, bagaimana kukuhnya keputusan itu.
Dave mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mengusir perasaan gundah yang kerap hadir bila melihat tatapan gadis itu begitu terluka bila di dekatnya. Apalagi jika diingat, bagaimana dulu dia berusaha menahan perasaannya, saat langkah kaki yang terasa berat untuk diayunkan itu, semakin menjauh, pergi meninggalkannya untuk beberapa saat.
Oh, Tuhan... salahkah bila aku mencintainya? tanyanya pahit dalam hati.
"Awaasss...."
Teriakan itu membuyarkan semua lamunannya. Dia tersentak kaget, saat melihat di kejauhan sebuah mobil mengerem mendadak di depan toko, dan gadis itu tertunduk di depannya dengan plastik belanjaan terlempar dua jengkal dari tempat gadis itu.
Dia buru-buru membuka pintu mobil dan menghambur menghampiri gadis itu.
"Sisil, kau tak apa-apa?"
"Dave...."
Senin, 20 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar