Senin, 20 April 2009

Aku Mencintaimu, Bukan Runa!



"Masih sakit?"
Aku menggeleng lemah.
"Makasih."
"Jangan buat aku seperti itu lagi. Jantungku rasanya berhenti berdetak, melihatmu tertunduk di depan mobil tadi."
"Aku tidak apa-apa."
"Dengan lutut berdarah dan tangan nyeri, masih kau bilang tidak apa-apa?" Dave menatapku cemas.
Aku berpaling cepat. Menggigit bibir kuat-kuat, agar butiran hangat itu tidak tumpah di depannya. Tidak, gelengku lemah. Dave tidak boleh sampai tahu, kalau aku menangis. Aku tahu dia paling tidak bisa melihatku sedih. Baginya, kebahagiaanku di atas segalanya. Jadi, kalau aku sampai menangis, semua yang telah kulakukan, akan sia-sia.
"Sil?"
"Eh?"
"Diobati dulu, ya? Biar sakitnya berkurang."
Aku menggeleng.
"Biar aku saja. Aku tak ingin Mama sampai tahu."
"Kenapa kau selalu seperti itu?"
"Sudah dari sananya, Dave," ujarku sambil tersenyum kecut. "Ah, pergilah!"
"Apa?"
"Kau ingin ke rumah sakit, kan? Runa pasti sudah menunggumu. Tak boleh lho, membiarkan orang sakit sendirian," candaku pilu.
"Tak bisakah sekali saja, jika bersamaku, kau tak menyebut nama Runa?"
"Dave?"
"Berjanjilah, kau tak akan pernah pergi lagi."
Aku terdiam. Memandang lalu lalang kendaraan dengan tatapan pilu. Kemudian seperti teringat sesuatu, kubuka pintu mobil. Entah sudah berapa banyak waktu yang telah kuhabiskan di dalam mobil Dave.
"Kau ingin ke mana, Sil?" Dave menahan tubuhku, berusaha mencegahku untuk membuka pintu mobilnya.
"Aku ingin pulang."
"Kuantar!"
Aku menggeleng berulang kali.
"Aku naik taksi saja, Dave. Tak enak jika Mama melihatnya. Mama bisa salah paham."
"Sil?"
"Aku boleh minta tolong, kan? Sekali saja."
"Apa?"
"Berikan kain penutup kepala itu ke Runa. Kalau dia tanya, bilang saja tadi kau mampir dulu ke toko. Runa pasti senang."
"Bagaimana kalau aku tak mau?"
"Kumohon, Dave."
"Baiklah," kata Dave pada akhirnya. "Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kuantar kau pulang!"
"Dan membuat kening Mama berkerut melihatku berada dalam mobilmu?" Aku menggeleng. "Tidak, Dave. Aku sudah berjanji pada Mama."
"Sekali ini saja, Sil. Bisakah kau berhenti menghindariku?"
Aku menggeleng sedih. Menatap cowok itu putus asa.
"Aku tidak bisa, Dave. Mengertilah!"
"Aku juga ingin kamu mengerti satu hal," ujar cowok itu tiba-tiba. menatapku dengan mata serius. "Aku tak bersedia memenuhi permintaanmu. Jangan potong dulu," katanya cepat, ketika dilihatnya aku ingin membantah kata-katanya. "Aku menemaninya karena kau yang minta. Ingat? Jadi jangan paksa aku, untuk jatuh cinta padan Runa!"
"Dave?"
"Tak bisakah kau mengerti, kalau cinta tak bisa diatur seenaknya?! Aku mencintaimu, Sil. Bukan Runa!"
"Dave?"
"Aku benci sekali melihatmu terluka setiap melihat kami berdua. Sudah cukup! Aku tak ingin kau menderita lebih jauh lagi!"
"Runa sakit, Dave. Mungkin usianya tidak akan lama lagi. Dia membutuhkanmu!"
"Dan kau sendiri?!"
Aku? Masih berartikah jika kukatakan? Sementara aku tahu, satu-satunya kekuatan untuk Runa bertahan, hanya cinta cowok ini. Kalau kutepis lagi, berapa banyak orang yang kucintai akan bersedih?
"Sil, tak bisakah kita seperti dulu?"
"Kau tahu, itu tak mungkin, Dave!"
"Sil?"
Ah, aku menghela napas. Kenapa kau tanyakan hal itu, Dave?
Aku lelah sekali, Dave. Mungkin akan lebih baik, jika aku tak pernah kembali. Menetap saja selamanya di Jerman. Dan berharap akan menemukan cinta sejati yang baru. Seperti kata Gisela, mungkin seharusnya aku mau membuka hatiku, belajar menerima kebaikan yang lain. Menerima Gunther, misalnya?

Tidak ada komentar: