Senin, 20 April 2009

Aku Sayang Kamu, Runa!



"Sisil...."
Aku mendongak, mencari asal suara. Dari tingkat dua, kulihat Gisela melambaikan tangannya sambil tersenyum.
"Tunggu aku di bawah, ya?"
Aku tersenyum mengiyakan.
Runa, apakah suratku sudah sampai?
"Melamun lagi, ya?" Gisela tiba-tiba berujar pelan sambil menepuk bahuku lembut. "Sampai tak tahu kuperhatikan sejak tadi. Ingat dia, Sil?"
Aku hanya menjawab dengan senyum. Berjalan beberapa langkah dari sana, menghampiri kolam ikan, dan duduk di tepinya.
"Kapan kau pulang?"
"Lusa," jawabku tanpa berpaling. "Kenapa?"
"Mereka tahu kau akan datang?"
Aku menggeleng.
"Dia bagaimana?"
Aku mengedikkan bahu.
"Sil?"
"Entahlah! Aku hanya berharap, dia tak pernah tahu aku datang. Tak ingim membuatnya bingung dengan keputusanku."
"Apa kau tak takut, jika pulang nanti, Dave telah memenuhi permintaanmu, menemani Runa selamanya?"
Aku tersenyum tipis. Menatap gadis blasteran Indonesia-Jerman itu dengan tatapan pilu.
"Itu mungkin lebih baik kan, Gis?"
"Aku tahu. Tapi pikirkan juga perasaannya, Sil. Yang dia cintai itu kamu. Jangan membuatnya bingung seperti itu."
Aku menggeleng lemah. Mengambil sweater yang kuletakkan di pergelangan kursi. Memandang gadis itu sesaat, sebelum akhirnya masuk ke dalam, menyalakan perapian. Gisela berjalan mengikutiku.
"Aku tak bisa mengubah apa yang sudah kuputuskan, Gis. Jauh-jauh hari aku tahu, ini semua akan menyakiti kami. Tapi...?" gelengku sedih.
"Apa ini kau lakukan karena balas jasa?" tanya Gisela, hati-hati.
Aku berpaling cepat. Menatap gadis itu tak suka.
"Sil?"
"Apa kau pikir aku seperti itu?"
Gisela memandangku sedih.
"Sil... maafkan aku, ya? Aku hanya tak suka, kau terus mengalah."
Maaf? Aku tersenyum tipis. Andai saja kau mengerti, Gis. Andai saja kau berada di posisiku, mungkin kau akan melakukan hal yang sama. Apalagi jika kau melihat, orang yang kau cintai begitu menderita.
Mama juga pernah melakukan hal itu sebelum aku pergi. Wanita cantik yang lembut, sosok keibuan yang sangat kusayangi, yang telah mengasuhku sejak kecil dan sudah menganggapku anak kandungnya sendiri itu, berdiri di depanku dengan mata basah. Tanpa berbicara apa pun. Hanya menatapku dengan pandangan memohon. Membuatku tak bisa mengatakan apa-apa lagi, selain tersenyum dan berusaha mengerti keinginan Mama, menyerahkan orang yang kucintai pada satu-satunya saudaraku.
"Sil?"
"Sudahlah," desisku pilu. Aku tak apa-apa. Tak perlu cemas memikirkanku."

***

"Barang-barangnya sudah kalian ngepak semua, kan?"
Aku dan Gisela mengangguk bersamaan.
"Tak ada yang terlupa?"
Aku tersenyum. Merangkul Mom, ibu Gisela dan Gunther, dengan penuh kasih.
"Tinggal sedikit lagi kok, Mom. Aku hanya takut lupa membawanya."
"Tenang saja. Gunther sedang mengambilnya." Gisela tersenyum. "Ah, itu dia."
Gunther masuk dengan wajah berpeluh keringat.
"Maaf Sil, mobilku tiba-tiba mogok di tengah jalan," kata cowok itu menjelaskan, sambil menyerahkan album foto di tangannya. "Jam berapa penerbanganmu?"
"Dua jam lagi," jawabku, sambil melirik seiko di pergelangan tanganku. "Terima kasih ya, Gun."
"Jangan begitu ah," serunya tak suka. "Oh ya, Sil. Aku titip adikku yang cerewet ini, ya?" Gunther tersenyum melirik Gisela, sambil berusaha mengelak dari cubitan adiknya. Mom dari depan, memperhatikan kami sambil tersenyum.
"Sudah, ayo cepat berangkat. Bukan pesawat yang menunggu kalian," goda Mom. "Gun, pakai mobil Papa saja gih, biar cepat."
"Ya, Mom." Gunther tersenyum, berlari ke garasi.
"Mom?" Aku membalikkan tubuhku. Tersenyum menatap wanita setengah baya di depanku. "Terima kasih."
"Mom selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian. Kalau Runa suatu saat sembuh, ajaklah dia ke sini. Mom tunggu."
Aku mengangguk pelan. Mencium kedua pipi Mom, sebelum akhirnya berlari menghampiri Gunther dan Gisela.
"Hati-hati, ya?"

Tidak ada komentar: